Sultan Agung Raja di Mataram sudah lama sekali mempunyai keinginan untuk mengusir bangsa Belanda dari tanah Jawa. Tapi cita-cita iuhurnya itu banyak mengalami hambatan. Salah satu kendalanya adalah pemberontakan dari para adipati di daerah pesisir yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram. Hal ini tentu saja membuat Sultan Agung kerepotan.
Untuk mengusir bangsa Belanda yang sudah memiliki persenjataan lengkap itu, hams dibina rasa persatuan dan kesatuan. Langkah pertama yang diambil oleh Sultan Agung adalah menaklukkan kembali raja-raja di wilayah pesisir.
Kerajaan Pesisir yang pertama kali harus ditaklukkan adalah Kadipaten Surabaya. Peada waktu itu, Kadipaten Surabaya dikuasai adipati Pangeran Pekik. Pangeran Pekik sudah tahu jika bala tentara Mataram sedang menuju ke Kadipaten Surabaya untuk menaklukkan Surabaya melalui mata-mata yang disebar di daerah-daerah.
"Paman Patih Suradigda, bala- tentara dari Mataram sudah semakin dekat. Bagaimana persiapan pasukan kita?" tanya Adipati Surabaya patihnya pada suatu pertemuan.
"Hamba sudah mempersiapkannya dengan matang, Tuanku. Semua prajurit setiap hari sudah kami didik dengan olah keprajuritan yang tangguhu sehingga sudah cukup mampu mengusir orang-orang Mataram yang berniat menyerang kadipaten kita!" ujar Patih Suradigda.
"Bagus, Paman. Latihlah terus para prajurit agar semakin hebat. Kita buktikan bahwa orang-orang Surabaya tak ingin menjadi budak orang-orang Mataram.."
Pertemuan itu tiba-tiba terhenti begitu seorang prajurit mata-mata datang melapor."Hai prajurit, ada apa kamu dengan tergesa-gesa menghadap kepadaku?" tanya Adipati Surabaya.
"Mohon ampun, Tuanku. Hamba melaporkan bahwa bala tentara dari Mataram sudah mulai memasuki wilayah Kadipaten Surabaya!"
"Apa? Mereka sudah memasuki daerah kekuasaanku tanpa izin. Kurang ajar orang-orang Mataram. Paman Patih, segera siagakan semua prajurit untuk menghadapi mereka!" perintah Adipati Surabaya.
"Daulat, Tuanku!" Dengan segera, Patih Suradigda mempersiapkan semua prajurit pilihannya. Setelah berkumpul semua, segera diberangkatkan menuju perbatasan Kadipaten Surabaya.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan pasukan dari Mataram. Tak dapat dielakkan lagi, pertempuran segera terjadi. Para prajurit dari Surabaya memang pilihan. Bagaimana pun hebatnya kemampuan dari pasukan Mataram, ternyata masih kalah tangguh dengan pasukan dari Surabaya.
Saat itu, Patih Suradigda tengah berhadap-hadapan dengan Patih Mataram yang bernama Patih Kridhanagara. Kedua orang ini tengah saling menantang. "Mengapa hanya kamu yang menghadapiku, mana Raja Mataram, suruh dia maju untuk menghadapiku!" sesumbar Patih Suradigda.
"Besar mulut kau! Memangnya siapa kau, berani menantang rajaku?"
"Aku Patih dari Surabaya, namaku Patih Suradigda. Dan kau siapa?" tanya Patih Suradigda.
"Aku Patih dari Mataram, namaku Patih Kridhanagara. Mana Adipati Surabaya, suruh dia ke sini!"
"Keparat kau!" Patih Suradigda menerjang.
Tetapi Patih Kridhanagara dengan gesit menghindar. Kemudian, balas menyerang dengan melakukan tendangan. Untunglah dapat ditangkis oleh Patih Suradigda. Pertarungan berlangsung dengan seru. Keduanya mengeluarkan segenap kepandaiannya yang dimiliki. Hinggapadasuatu saat tendangan kaki Patih Suradigda berhasil mengenai perut Patih Kridhanagara sehingga menyebabkan Patih Mataram itu terlempar beberapa tombak. Perutnya menjadi mulas dan sakit sekali. Patih Kridhanagara kalah dan pergi dengan dipapah oleh salah satu prajuritnya.
Melihat Patih Kridhanagara terkalahkan, para prajurit dari Mataram yang masih hidup segera berhamburan menyelamatkan jiwanya masing-masing. Mereka berlari-lari kembali ke perkemahan. Di sana Sultan Agung tengah menantikan laporan.
"Bagaimana Patih? Mengapa kamu?" tanya Sultan Agung cemas.
"Maafkan hamba, Tuanku. Hamba dikalahkan oleh Patih dari Surabaya. Bahkan, sekarang pasukan kita kocar-kacir tak karuan. Memang, prajurit dari Surabaya sangat terlatih!"
Hati Sultan Agung jengkel sekali melihat para pasukannya kalah melawan prajurit Surabaya.
"Bagaimana pun caranya, Adipati Surabaya harus kembali tunduk padaku. Prajurit mereka yang gagah berani sangat berguna nanti untuk mengusir kompeni Belanda."
"Kita harus merubah siasat untuk mengalahkan mereka , Tuanku!" Tiba-tiba Patih Kridhanagara menemukan akal.
"Bagaimana, Patih? Apa siasat yang kau maksud?" "Begini, Tuanku.
Semua orang di Kadipaten Surabaya itu selalu mengambil air minum dari Sungai Brantas. Kalau mereka tidak dapat minum dan tidak dapat mencari makan, mereka tentu akan menyerah dengan sendirinya. Oleh
karena itu, kita harus memasukkan kotoran apa saja ke Sungai Brantas dan mengepung Kadipaten Surabaya agar bantuan bahan makanan tak bisa masuk ke dalam kadipaten!" .
"Usul yang bagus, Patih. Sekarang juga kita laksanakan siasat itu."
Segera Patih Kridhanagara mengajak para prajuritnya untuk memasukkan segala kotoran ke dalam Sungai Brantas. Ada bangkai binatang, sampah-sampah, bangkai manusia, sisa-sisa makanan dan sebagainya. Sementara itu, bahan makanan yang akan masuk ke kadipaten selalu diambil oleh para prajurit Mataram.
Di dalam Kadipaten Surabaya, semua rakyat bingung. Persediaan air dan makanan mereka sudah harnpir habis. Ada prajurit yang disuruh mengambil air di Sungai Brantas, tetapi prajurit itu kembali dengan tangan
hampa.
"Mengapa kalian kembali dengan tangan kosong? Apakah Sungai Brantas kering tak ada airnya?" tanya Adipati Surabaya.
"Maaf, Tuanku. Keadaan air di Sungai Brantas sangat menyedihkan. Warnanya kuning keerriasan pertanda sangat kotor dan tak layak untuk diminum," jawab prajurit itu. '
"Kali Brantas berubah menjadi Kalimas? Lalu bagaimana kita menghilangkan rasa dahaga kalau tidak ada air. Mau mencari keiuar dari wilayah Surabaya, prajurit Mataram telah mengepung kita?" kata Adipati Surabaya masygul.
Beberapa hari seluruh rakyat yang ada di Kadipaten Surabaya tetap bertahan tanpa makan dan minum.
Akhirnya, mereka tidak tahan dan menyerah kalah terhadap pasukan Mataram. Adipati Surabaya takluk di hadapan Sultan Agung. Dan Sultan Agung pun diterima dengan baik di Kadipaten Surabaya.
"Sebenarnya niatmu untuk mempertahankan daerahmu itu baik, Adipati. Akan tetapi, aku hanya ingin mempersatukan seluruh kerajaan di pesisir untuk kuajak mengusir bangsa Belanda yang bermaksud untuk menjajah bangsa kita. Aku tak bermaksud ingin menjajah, tetapi aku tak bisa berjuang sendirian!" kata Sultan Agung" menjelaskan kepada Adipati Surabaya.
Adipati Surabaya mengangguk-angguk tanda mengerti. Dan karena pada waktu itu Kali Brantas atau Sungai Brantas berwama kekuning-kuningan akibat kotoran yang dimasukkan oleh para pasukan Mataram, Kali Brantas kemudian disebut-sebut dengan nama Kalimas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar